Perang Salib ialah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci” dari kekuasaan Muslim dan awalnya diluncurkan sebagai respon atas permohonan dari Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodox Timur untuk melawan perluasan dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia.
Istilah ini juga dipakai untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama periode ke 16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan adonan antara agama, ekonomi dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke 11 hingga dengan Abad ke 13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke 16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.
Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan.
Perang Salib besar lengan berkuasa sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih besar lengan berkuasa hingga masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya di benua Eropa ketika itu. Perang Salib Keenam ialah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi teladan preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun menimbulkan komplotan antara satu faksi melawan faksi lainnya menyerupai komplotan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima.
Situasi di Eropa
Asal mula pandangan gres perang salib ialah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya imbas Kekaisaran Byzantium di timur yang disebabkan oleh gelombang gres serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada final Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa setelah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slav dan Magyar, telah menciptakan kelas petarung bersenjata yang energinya dipakai secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat. Gereja berusaha untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei. Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman selalu mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan untuk memperluas tempat kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik. Pengecualiannya ialah ketika terjadi Reconquista di Spanyol dan Portugal, dimana pada ketika itu ksatria-ksatria dari Iberia dan pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang sebelumnya berhasil menyerang dan menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia dalam kurun waktu 2 periode dan menguasainya selama kurang lebih 7 abad.
Pada tahun 1063, Paus Alexander II menawarkan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum Muslim. Paus menawarkan baik restu kepausan standar maupun pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka, seruan yang tiba dari Kekaisaran Byzantium yang sedang terancam oleh perluasan kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar Michael VII kepada Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus kepada Paus Urbanus II.
Perang Salib ialah sebuah citra dari dorongan keagamaan yang intens yang merebak pada final periode ke-11 di masyarakat. Seorang tentara Salib, setelah menawarkan sumpah sucinya, akan mendapatkan sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan semenjak ketika itu akan dianggap sebagai “tentara gereja”. Hal ini sebagian ialah lantaran adanya Kontroversi Investiture, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung selama Perang Salib Pertama. Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi Investiture berusaha untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara pribadi dalam kontradiksi keagamaan yang dramatis. Hasilnya ialah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan wacana Perang untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang termasuk Yerusalem (dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi berdasarkan pedoman Kristen) dan Antioch (kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” ialah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan infinit di Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib wacana apa sebetulnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk nirwana pada ketika mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi ialah apa sebetulnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada ketika itu. Suatu teori menyatakan bahwa bila seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa bila para tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa bila seseorang telah hingga ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh lantaran itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka bila melaksanakan dosa setelah Perang Salib. Seluruh faktor inilah yang menawarkan dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan kebangkitan keagamaan pada periode ke-12.
Situasi Timur Tengah
Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat semenjak penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium pada periode ke-7. Hal ini sebetulnya tidak terlalu mempengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem–yang berada jauh di Timur–sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya menyerupai bangsa Viking dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslimlah yang berhasil menawarkan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Orthodox Timur.
Titik balik lain yang besar lengan berkuasa terhadap pandangan Barat kepada Timur ialah ketika pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Suci (Church of The Holy Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi banyak laporan yang beredar di Barat wacana kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Perang Salib pada final periode itu.
Penyebab Langsung
Penyebab pribadi dari Perang Salib Pertama ialah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut. Hal ini dilakukan lantaran sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan di Pertempuran Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam insiden ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Kristen Barat dengan gereja Orthodox Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem, setelah Dinasti Seljuk sanggup merebut Baitul Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Umat Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah semenjak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.
Ketika Perang Salib Pertama didengungkan pada tahun 1095, para pangeran Kristen dari Iberia sedang bertempur untuk keluar dari pegunungan Galicia dan Asturia, wilayah Basque dan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa Moor Toledo kepada Kerajaan Leon pada tahun 1085 ialah kemenangan yang besar. Ketidakbersatuan penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang penting dan kaum Kristen yang meninggalkan para wanitanya di garis belakang amat sulit untuk dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur. Mereka tidak mempunyai taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan. Para ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan absurd yang dipenuhi oleh orang kafir sehingga mereka sanggup berbuat dan merusak sekehendak hatinya. Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan kembali di lapangan pertempuran di Timur. Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista ialah kekuatan besar dari huruf Castilia, dengan perasaan bahwa kebaikan yang tertinggi ialah mati dalam pertempuran mempertahankan ke-Kristen-an suatu Negara.
Perang
Perang Salib I
Pada ekspresi dominan semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka sanggup menguasai Antiochea dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul-Maqdis (15 Juli 1099 M) dan mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, Rajanya ialah Raymond.
Selanjutnya Syeikh Imaduddin Zanki pada tahun 1144 M, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zanki. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa sanggup direbut kembali.
Perang Salib II
Kejatuhan County Edessa ini mengakibatkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III memberikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar ialah merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hattin, Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui seni administrasi penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang ketika itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan menaklukan kota lain, menyerupai Arsuf dan Jaffa.
Perang Salib III
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard the Lionheart raja Inggris, dan Philip Augustus raja Perancis memunculkan perang Salib III. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur maritim dan pasukan Barbarossa-saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa-melalui jalur darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di tempat Cilicia lantaran karam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip. Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan Siprus. Meskipun menerima tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke Perancis untuk "menyelesaikan" problem kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak bisa memasuki Palestina lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibentuk perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.
Perang Salib IV
Pada tahun 1219 M, meleteus kembali peperangan yang dikenal dengan Perang Salib periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II, mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan keinginan sanggup proteksi dari orang-orang Kristen Qibthi. Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyat, Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, menciptakan penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim proteksi kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina sanggup direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya.
Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi Daulah Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars, Qalawun dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah. Pada masa merekalah Akka sanggup direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, hingga umat Islam terusir dari sana.
Kondisi Sesudah Perang Salib
Perang Salib Pertama melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan bergairah terhadap pemeluk Kristen Orthodox Timur. Kekerasan terhadap Kristen Orthodox ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya serangan-serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan proteksi di dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu.
Pada periode ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Acra jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 dan setelah penghancuran bangsa Occitan (Perancis Selatan) yang berpaham Catharisme pada Perang Salib Albigensian, pandangan gres perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran forum Kepausan terhadap aksi politik dan wilayah yang terjadi di Kristen Eropa.
Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah ialah orde Knights Hospitaller. Sesudah kejatuhan Acra yang terakhir, orde ini menguasai Pulau Rhodes dan pada periode ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara Salib yang terakhir ini hasilnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798.
Peninggalan
Benua Eropa
Perang Salib selalu dikenang oleh bangsa-bangsa di Eropa kepingan Barat dimana pada masa Perang Salib merupakan negara-negara Kristen Roma. Sungguh pun demikian, banyak pula kritikan pedas terhadap Perang Salib di negara-negara Eropa Barat pada masa Renaissance.
Politik dan Budaya
Perang Salib amat mempengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan. Pada masa itu, sebagian besar benua dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan, akan tetapi pada periode ke-14, perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa modern) sedang pesat di Perancis, Inggris, Burgundi, Portugal, Castilia dan Aragon. Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja pada masa awal perang salib.
Meski benua Eropa telah bersinggungan dengan budaya Islam selama berabad-abad melalui relasi antara Semenanjung Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan di bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa perang salib.
Pengalaman militer perang salib juga mempunyai imbas di Eropa, menyerupai misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai memakai materi dari batu-batuan yang tebal dan besar menyerupai yang dibentuk di Timur, tidak lagi memakai materi kayu menyerupai sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama Asia.
Bersama perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan sains gres mencapai timur atau barat. Kemajuan bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai barat dan menambah laju perkembangan di universitas-universitas Eropa yang kemudian mengarahkan kepada masa Renaissance pada abad-abad berikutnya.
Perdagangan
Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan balatentara yang besar menumbuhkan perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan yang sebagian besar tidak pernah dipakai semenjak masa pendudukan Romawi, terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para pedagang yang berniat berbagi usahanya. Ini bukan saja lantaran Perang Salib mempersiapkan Eropa untuk bepergian akan tetapi lebih lantaran banyak orang ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk dari timur. Hal ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance di Itali, lantaran banyak negara-kota di Itali yang semenjak awal mempunyai relasi perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan negara-negara Salib, baik di Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah bekas Byzantium.
Pertumbuhan perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini termasuk aneka macam macam rempah-rempah, gading, batu-batu mulia, teknik pembuatan barang beling yang maju, bentuk awal dari mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil tumbuhan Asia lainnya dan banyak lagi.
Keberhasilan untuk melestarikan Kristen Eropa, bagaimanapun, tidak sanggup mengabaikan kejatuhan Kekaisaran Kristen Byzantium, yang sebagian besar diakibatkan oleh kekerasan tentara Salib pada Perang Salib Keempat terhadap Kristen Orthodox Timur, terutama pencucian yang dilakukan oleh Enrico Dandolo yang terkenal, penguasa Venesia dan sponsor Perang Salib Keempat. Tanah Byzantium ialah negara Kristen yang stabil semenjak periode ke-4. Sesudah tentara Salib mengambil alih Konstantinopel pada tahun 1204, Byzantium tidak pernah lagi menjadi sebesar atau sekuat sebelumnya dan hasilnya jatuh pada tahun 1453.
Melihat apa yang terjadi terhadap Byzantium, Perang Salib lebih sanggup digambarkan sebagai perlawanan Kristen Roma terhadap perluasan Islam, ketimbang perlawanan Kristen secara utuh terhadap perluasan Islam. Di lain pihak, Perang Salib Keempat sanggup disebut sebuah anomali. Kita juga sanggup mengambil suatu kompromi atas kedua pendapat di atas, khususnya bahwa Perang Salib ialah cara Kristen Roma utama dalam menyelamatkan Katolikisme, yaitu tujuan yang utama ialah memerangi Islam dan tujuan yang kedua ialah mencoba menyelamatkan ke-Kristen-an, dalam konteks inilah, Perang Salib Keempat sanggup dikatakan mengabaikan tujuan yang kedua untuk memperoleh proteksi logistik bagi Dandolo untuk mencapai tujuan yang utama. Meski begitu, Perang Salib Keempat ditentang oleh Paus pada ketika itu dan secara umum dikenang sebagai suatu kesalahan besar.
Dunia Islam
Perang salib mempunyai imbas yang jelek tetapi terlokalisir pada dunia Islam. Dimana persamaan antara “Bangsa Frank” dengan “Tentara Salib” meninggalkan bekas yang amat dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan Saladin, seorang ksatria Kurdi, sebagai jagoan Perang Salib. Pada periode ke-21, sebagian dunia Arab, menyerupai gerakan kemerdekaan Arab dan gerakan Pan-Islamisme masih terus menyebut keterlibatan dunia Barat di Timur Tengah sebagai “perang salib”. Perang Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai pembantaian yang kejam dan keji oleh kaum Kristen Eropa.
Konsekuensi yang secara jangka panjang menghancurkan wacana perang salib, berdasarkan jago sejarah Peter Mansfield, ialah pembentukan mental dunia Islam yang cenderung menarik diri. Menurut Peter Mansfield, “Diserang dari aneka macam arah, dunia Islam berpaling ke dirinya sendiri. Ia menjadi sangat sensitive dan defensive……sikap yang tumbuh menjadi semakin jelek seiring dengan perkembangan dunia, suatu proses dimana dunia Islam merasa dikucilkan, terus berlanjut.”
Komunitas Yahudi
Kekerasan tentara Salib terhadap bangsa Yahudi di kota-kota di Jerman dan Hongaria, belakangan juga terjadi di Perancis dan Inggris, dan pembantaian Yahudi di Palestina dan Syria menjadi kepingan yang penting dalam sejarah Anti-Semit, meski tidak ada satu perang salib pun yang pernah dikumandangkan melawan Yahudi. Serangan-serangan ini meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan yang jelek pada kedua belah pihak selama berabad-abad. Posisi sosial bangsa Yahudi di Eropa Barat semakin merosot dan pembatasan meningkat selama dan setelah Perang Salib. Hal ini memuluskan jalan bagi pengakuan Anti-Yahudi oleh Paus Innocentius III dan membentuk titik balik bagi Anti-Semit periode pertengahan.
Periode perang salib diungkapkan dalam banyak narasi Yahudi. Di antara narasi-narasi itu, yang terkenal ialah catatan-catatan Solomon kafetaria Simson dan Rabbi Eliezer kafetaria Nathan, “The Narrative of The Old Persecution” yang ditulis oleh Mainz Anonymus dan “Sefer Zekhirah” dan “The Book of Remembrance” oleh Rabbi Ephrain dari Bonn.
Pegunungan Kaukasus
Di Pegunungan Kaukasus di Georgia, di dataran tinggi Khevsureti yang terpencil, ada sebuah suku yang disebut Khevsurs yang dianggap merupakan keturunan pribadi dari sebuah kelompok tentara salib yang terpisah dari induk pasukannya dan tetap dalam keadaan terisolasi dengan sebagian budaya perang salib yang masih utuh. Memasuki periode ke-20, peninggalan dari baju perang, persenjataan dan baju rantai masih dipakai dan terus diturunkan dalam komunitas tersebut. Ahli ethnografi Rusia, Arnold Zisserman, yang menghabiskan 25 tahun (1842 – 1862) di pegunungan Kaukasus, percaya bahwa kelompok dari dataran tinggi Georgia ini ialah keturunan dari tentara Salib yang terakhir berdasarkan dari kebiasaan, bahasa, kesenian dan bukti-bukti yang lain. Penjelajah Amerika Richard Halliburton melihat dan mencatat kebiasaan suku ini pada tahun 1935.
Istilah ini juga dipakai untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama periode ke 16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan adonan antara agama, ekonomi dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke 11 hingga dengan Abad ke 13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke 16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.
Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan.
Perang Salib besar lengan berkuasa sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih besar lengan berkuasa hingga masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya di benua Eropa ketika itu. Perang Salib Keenam ialah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi teladan preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun menimbulkan komplotan antara satu faksi melawan faksi lainnya menyerupai komplotan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima.
Situasi di Eropa
Asal mula pandangan gres perang salib ialah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya imbas Kekaisaran Byzantium di timur yang disebabkan oleh gelombang gres serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada final Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa setelah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slav dan Magyar, telah menciptakan kelas petarung bersenjata yang energinya dipakai secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat. Gereja berusaha untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei. Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman selalu mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan untuk memperluas tempat kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik. Pengecualiannya ialah ketika terjadi Reconquista di Spanyol dan Portugal, dimana pada ketika itu ksatria-ksatria dari Iberia dan pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang sebelumnya berhasil menyerang dan menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia dalam kurun waktu 2 periode dan menguasainya selama kurang lebih 7 abad.
Pada tahun 1063, Paus Alexander II menawarkan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum Muslim. Paus menawarkan baik restu kepausan standar maupun pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka, seruan yang tiba dari Kekaisaran Byzantium yang sedang terancam oleh perluasan kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar Michael VII kepada Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus kepada Paus Urbanus II.
Perang Salib ialah sebuah citra dari dorongan keagamaan yang intens yang merebak pada final periode ke-11 di masyarakat. Seorang tentara Salib, setelah menawarkan sumpah sucinya, akan mendapatkan sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan semenjak ketika itu akan dianggap sebagai “tentara gereja”. Hal ini sebagian ialah lantaran adanya Kontroversi Investiture, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung selama Perang Salib Pertama. Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi Investiture berusaha untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara pribadi dalam kontradiksi keagamaan yang dramatis. Hasilnya ialah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan wacana Perang untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang termasuk Yerusalem (dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi berdasarkan pedoman Kristen) dan Antioch (kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” ialah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan infinit di Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib wacana apa sebetulnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk nirwana pada ketika mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi ialah apa sebetulnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada ketika itu. Suatu teori menyatakan bahwa bila seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa bila para tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa bila seseorang telah hingga ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh lantaran itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka bila melaksanakan dosa setelah Perang Salib. Seluruh faktor inilah yang menawarkan dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan kebangkitan keagamaan pada periode ke-12.
Situasi Timur Tengah
Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat semenjak penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium pada periode ke-7. Hal ini sebetulnya tidak terlalu mempengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem–yang berada jauh di Timur–sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya menyerupai bangsa Viking dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslimlah yang berhasil menawarkan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Orthodox Timur.
Titik balik lain yang besar lengan berkuasa terhadap pandangan Barat kepada Timur ialah ketika pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Suci (Church of The Holy Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi banyak laporan yang beredar di Barat wacana kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Perang Salib pada final periode itu.
Penyebab Langsung
Penyebab pribadi dari Perang Salib Pertama ialah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut. Hal ini dilakukan lantaran sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan di Pertempuran Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam insiden ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Kristen Barat dengan gereja Orthodox Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem, setelah Dinasti Seljuk sanggup merebut Baitul Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Umat Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah semenjak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.
Ketika Perang Salib Pertama didengungkan pada tahun 1095, para pangeran Kristen dari Iberia sedang bertempur untuk keluar dari pegunungan Galicia dan Asturia, wilayah Basque dan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa Moor Toledo kepada Kerajaan Leon pada tahun 1085 ialah kemenangan yang besar. Ketidakbersatuan penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang penting dan kaum Kristen yang meninggalkan para wanitanya di garis belakang amat sulit untuk dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur. Mereka tidak mempunyai taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan. Para ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan absurd yang dipenuhi oleh orang kafir sehingga mereka sanggup berbuat dan merusak sekehendak hatinya. Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan kembali di lapangan pertempuran di Timur. Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista ialah kekuatan besar dari huruf Castilia, dengan perasaan bahwa kebaikan yang tertinggi ialah mati dalam pertempuran mempertahankan ke-Kristen-an suatu Negara.
Perang
Perang Salib I
Pada ekspresi dominan semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka sanggup menguasai Antiochea dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul-Maqdis (15 Juli 1099 M) dan mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, Rajanya ialah Raymond.
Selanjutnya Syeikh Imaduddin Zanki pada tahun 1144 M, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zanki. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa sanggup direbut kembali.
Perang Salib II
Kejatuhan County Edessa ini mengakibatkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III memberikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar ialah merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hattin, Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui seni administrasi penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang ketika itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan menaklukan kota lain, menyerupai Arsuf dan Jaffa.
Perang Salib III
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard the Lionheart raja Inggris, dan Philip Augustus raja Perancis memunculkan perang Salib III. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur maritim dan pasukan Barbarossa-saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa-melalui jalur darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di tempat Cilicia lantaran karam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip. Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan Siprus. Meskipun menerima tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke Perancis untuk "menyelesaikan" problem kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak bisa memasuki Palestina lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibentuk perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.
Perang Salib IV
Pada tahun 1219 M, meleteus kembali peperangan yang dikenal dengan Perang Salib periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II, mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan keinginan sanggup proteksi dari orang-orang Kristen Qibthi. Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyat, Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, menciptakan penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim proteksi kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina sanggup direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya.
Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi Daulah Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars, Qalawun dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah. Pada masa merekalah Akka sanggup direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, hingga umat Islam terusir dari sana.
Perang Salib Pertama melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan bergairah terhadap pemeluk Kristen Orthodox Timur. Kekerasan terhadap Kristen Orthodox ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya serangan-serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan proteksi di dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu.
Pada periode ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Acra jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 dan setelah penghancuran bangsa Occitan (Perancis Selatan) yang berpaham Catharisme pada Perang Salib Albigensian, pandangan gres perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran forum Kepausan terhadap aksi politik dan wilayah yang terjadi di Kristen Eropa.
Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah ialah orde Knights Hospitaller. Sesudah kejatuhan Acra yang terakhir, orde ini menguasai Pulau Rhodes dan pada periode ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara Salib yang terakhir ini hasilnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798.
Benua Eropa
Perang Salib selalu dikenang oleh bangsa-bangsa di Eropa kepingan Barat dimana pada masa Perang Salib merupakan negara-negara Kristen Roma. Sungguh pun demikian, banyak pula kritikan pedas terhadap Perang Salib di negara-negara Eropa Barat pada masa Renaissance.
Politik dan Budaya
Perang Salib amat mempengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan. Pada masa itu, sebagian besar benua dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan, akan tetapi pada periode ke-14, perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa modern) sedang pesat di Perancis, Inggris, Burgundi, Portugal, Castilia dan Aragon. Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja pada masa awal perang salib.
Meski benua Eropa telah bersinggungan dengan budaya Islam selama berabad-abad melalui relasi antara Semenanjung Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan di bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa perang salib.
Pengalaman militer perang salib juga mempunyai imbas di Eropa, menyerupai misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai memakai materi dari batu-batuan yang tebal dan besar menyerupai yang dibentuk di Timur, tidak lagi memakai materi kayu menyerupai sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama Asia.
Bersama perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan sains gres mencapai timur atau barat. Kemajuan bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai barat dan menambah laju perkembangan di universitas-universitas Eropa yang kemudian mengarahkan kepada masa Renaissance pada abad-abad berikutnya.
Perdagangan
Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan balatentara yang besar menumbuhkan perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan yang sebagian besar tidak pernah dipakai semenjak masa pendudukan Romawi, terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para pedagang yang berniat berbagi usahanya. Ini bukan saja lantaran Perang Salib mempersiapkan Eropa untuk bepergian akan tetapi lebih lantaran banyak orang ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk dari timur. Hal ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance di Itali, lantaran banyak negara-kota di Itali yang semenjak awal mempunyai relasi perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan negara-negara Salib, baik di Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah bekas Byzantium.
Pertumbuhan perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini termasuk aneka macam macam rempah-rempah, gading, batu-batu mulia, teknik pembuatan barang beling yang maju, bentuk awal dari mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil tumbuhan Asia lainnya dan banyak lagi.
Keberhasilan untuk melestarikan Kristen Eropa, bagaimanapun, tidak sanggup mengabaikan kejatuhan Kekaisaran Kristen Byzantium, yang sebagian besar diakibatkan oleh kekerasan tentara Salib pada Perang Salib Keempat terhadap Kristen Orthodox Timur, terutama pencucian yang dilakukan oleh Enrico Dandolo yang terkenal, penguasa Venesia dan sponsor Perang Salib Keempat. Tanah Byzantium ialah negara Kristen yang stabil semenjak periode ke-4. Sesudah tentara Salib mengambil alih Konstantinopel pada tahun 1204, Byzantium tidak pernah lagi menjadi sebesar atau sekuat sebelumnya dan hasilnya jatuh pada tahun 1453.
Melihat apa yang terjadi terhadap Byzantium, Perang Salib lebih sanggup digambarkan sebagai perlawanan Kristen Roma terhadap perluasan Islam, ketimbang perlawanan Kristen secara utuh terhadap perluasan Islam. Di lain pihak, Perang Salib Keempat sanggup disebut sebuah anomali. Kita juga sanggup mengambil suatu kompromi atas kedua pendapat di atas, khususnya bahwa Perang Salib ialah cara Kristen Roma utama dalam menyelamatkan Katolikisme, yaitu tujuan yang utama ialah memerangi Islam dan tujuan yang kedua ialah mencoba menyelamatkan ke-Kristen-an, dalam konteks inilah, Perang Salib Keempat sanggup dikatakan mengabaikan tujuan yang kedua untuk memperoleh proteksi logistik bagi Dandolo untuk mencapai tujuan yang utama. Meski begitu, Perang Salib Keempat ditentang oleh Paus pada ketika itu dan secara umum dikenang sebagai suatu kesalahan besar.
Dunia Islam
Perang salib mempunyai imbas yang jelek tetapi terlokalisir pada dunia Islam. Dimana persamaan antara “Bangsa Frank” dengan “Tentara Salib” meninggalkan bekas yang amat dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan Saladin, seorang ksatria Kurdi, sebagai jagoan Perang Salib. Pada periode ke-21, sebagian dunia Arab, menyerupai gerakan kemerdekaan Arab dan gerakan Pan-Islamisme masih terus menyebut keterlibatan dunia Barat di Timur Tengah sebagai “perang salib”. Perang Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai pembantaian yang kejam dan keji oleh kaum Kristen Eropa.
Konsekuensi yang secara jangka panjang menghancurkan wacana perang salib, berdasarkan jago sejarah Peter Mansfield, ialah pembentukan mental dunia Islam yang cenderung menarik diri. Menurut Peter Mansfield, “Diserang dari aneka macam arah, dunia Islam berpaling ke dirinya sendiri. Ia menjadi sangat sensitive dan defensive……sikap yang tumbuh menjadi semakin jelek seiring dengan perkembangan dunia, suatu proses dimana dunia Islam merasa dikucilkan, terus berlanjut.”
Komunitas Yahudi
Kekerasan tentara Salib terhadap bangsa Yahudi di kota-kota di Jerman dan Hongaria, belakangan juga terjadi di Perancis dan Inggris, dan pembantaian Yahudi di Palestina dan Syria menjadi kepingan yang penting dalam sejarah Anti-Semit, meski tidak ada satu perang salib pun yang pernah dikumandangkan melawan Yahudi. Serangan-serangan ini meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan yang jelek pada kedua belah pihak selama berabad-abad. Posisi sosial bangsa Yahudi di Eropa Barat semakin merosot dan pembatasan meningkat selama dan setelah Perang Salib. Hal ini memuluskan jalan bagi pengakuan Anti-Yahudi oleh Paus Innocentius III dan membentuk titik balik bagi Anti-Semit periode pertengahan.
Periode perang salib diungkapkan dalam banyak narasi Yahudi. Di antara narasi-narasi itu, yang terkenal ialah catatan-catatan Solomon kafetaria Simson dan Rabbi Eliezer kafetaria Nathan, “The Narrative of The Old Persecution” yang ditulis oleh Mainz Anonymus dan “Sefer Zekhirah” dan “The Book of Remembrance” oleh Rabbi Ephrain dari Bonn.
Pegunungan Kaukasus
Di Pegunungan Kaukasus di Georgia, di dataran tinggi Khevsureti yang terpencil, ada sebuah suku yang disebut Khevsurs yang dianggap merupakan keturunan pribadi dari sebuah kelompok tentara salib yang terpisah dari induk pasukannya dan tetap dalam keadaan terisolasi dengan sebagian budaya perang salib yang masih utuh. Memasuki periode ke-20, peninggalan dari baju perang, persenjataan dan baju rantai masih dipakai dan terus diturunkan dalam komunitas tersebut. Ahli ethnografi Rusia, Arnold Zisserman, yang menghabiskan 25 tahun (1842 – 1862) di pegunungan Kaukasus, percaya bahwa kelompok dari dataran tinggi Georgia ini ialah keturunan dari tentara Salib yang terakhir berdasarkan dari kebiasaan, bahasa, kesenian dan bukti-bukti yang lain. Penjelajah Amerika Richard Halliburton melihat dan mencatat kebiasaan suku ini pada tahun 1935.
0 komentar:
Posting Komentar