Pengarang : Marah Rusli
Penerbit : Balai Pustaka
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal : 271 halaman
Pelaku : Siti Nurbaya, Samsulbahri, Datuk Maringgih, Baginda Sulaiman, dan
Sultan Mahmud.
Sinopsis
Seorang penghulu di Padang yang berjulukan Sutan Mahmudsyah dengan isterinya, Siti Mariam yang berasal dari orang kebanyakan memiliki seorang anak tunggal pria yang berjulukan Syamsul Bahri. Rumah Sutan Mahmudsyah akrab dengan rumah seorang saudagar berjulukan Baginda Sulaeman. Baginda Sulaeman yang memiliki seorang anak perempuan tunggal berjulukan Siti Nurbaya. Mereka itu sangat karib sehingga ibarat abang dengan adik saja.
Pada suatu hari setelah pulang dari sekolah, Syamsul Bahri mengajak Siti Nurbaya ke gunung Padang gotong royong dua orang temannya, yakni Zainularifin, anak seorang jaksa kepala di Padang yang berjulukan Zainularifin akan melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Dokter Jawa di Jakarta. Sedang Bahtiar melanjutkan ke Sekolah Opzicther (KWS) di Jakarta pula. Syamsul Bahri pun akan melanjutkan ke Sekolah Dokter tersebut. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka bertamasya ke Gunung Padang. Di Gunung Padang itulah Syamsul Bahri menyatakan cintanya kepada Siti Nurbaya dan menerima balasan. Sejak itulah mereka itu mengadakan perjanjian akan sehidup semati.
Pada suatu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Syamsul Bahri melanjutkan sekolahnya ke Jakarta. Sekolahnya menjadi satu dengan Zainularifin.
Di Padang ada seorang orang kaya berjulukan Datuk Maringgih. Ia selalu berbuat kejahatan secara halus sehingga tidak diketahui orang lain. Kekayaannya itu didapatnya dengan cara tidak halal. Untuk itu ia memiliki banyak kaki tangan, antara lain ialah Pendekar Tiga, Pendekar empat, dan Pendekar Lima.
Melihat kekayaan Baginda Sulaeman Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka semua kekayaan Baginda Sulaeman diputuskan akan dilenyapkan. Dengan mediator kaki tangannya itu, dibakarlah tiga buah toko Baginda Sulaeman, perahu-perahunya yang penuh berisi muatan ditenggelamkannya.
Untuk memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada Datuk Maringgih sebanyak sepuluh ribu rupiah, lantaran untuk mengembalikan uang proteksi itu ia masih memiliki pengharapan atas hasil kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak ada yang berbuah sedikitpun. Disamping itu, lantaran hasutan kaki tangan Datuk Maringgih semua langganan yang telah berhutang kepada Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya. Dengan demikian, tiba-tiba Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga ia tidak sanggup membayar hutangnya yang sepuluh ribu rupiah itu. Barang-barangnya masih ada hanya kira-kira seharga tujuh ribu rupiah.
Karena Baginda Sulaeman tak sanggup membayar utangnya, maka Datuk Maringgih bermaksud hendak menyita barang-barang milik Baginda Sulaeman, kecuali kalau Siti Nurbaya diserahkan kepadanya sebagai istrinya. Mula-mula Siti Nurbaya tidak sudi tetapi ketika melihat ayahnya digiring hendak dimasukkan penjara, maka secara terpaksalah ia mau menjadi istri Datuk Maringgih walaupun bergotong-royong hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya bencana yang menimpa diri ayah dan dirinya sendiri itu segera diberitahukan oleh Siti Nurbaya kepada Syamsul Bahri di Jakarta.
Setelah setahun di Jakarta, menjelang bulan puasa, pulanglah Syamsul Bahri ke Padang. Setelah menjumpai orang tuanya semuanya sehat walafiat, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar dari Ibunya bahwa Baginda Sulaeman sakit. Sesampainya ke daerah yang dituju, dijumpainya Baginda Sulaeman sedang terbaring lantaran sakit. Tak usang setelah kedatangan Syamsul Bahri itu, datanglah Siti Nurbaya lantaran ayahnya mengharapkan kedatangan. Maka berjumpalah Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya. Beberapa hari kemudian, bertemu pula Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya, pertemuan itu terjadi pada malam hari. Kedua asyik masyuk itu tidak mengetahui bahwa gerak-gerik mereka itu sedang diikuti oleh Datuk Maringgih beserta kaki tangannya. Karena tak tahan mereka itu menahan rindunya maka merekapun berciuman. Pada waktu itulah Datuk Maringgih mendapatkan mereka dan terjadilah percekcokan, lantaran mendengar kata-kata yang pedas dari Syamsul Bahri, maka Datuk Maringgih memukulkan tongkatnya sekeras-kerasnya kepada Syamsul Bahri. Tetapi lantaran Syamsul Bahri menghindarkan dirinya diambil menyeret Siti Nurbaya, maka pukulan datuk Maringgih tidak mengenai sasarannya. Akibatnya tersungkurlah Datuk Maringgih. Dengan segera Syamsul Bahri menendangnya, dan lantaran kesakitan, berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan Datuk Maringgih itulah maka pada dikala itu juga keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya dengan bersenjatakan sebilah keris.
Melihat Pendekar Lima membawa keris itu, berteriaklah Siti Nurbaya sehingga teriakannya itu terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaeman yang sedang sakit itu, lantaran disangkanya Siti Nurbaya menerima kecelakaan maka bangkitlah Baginda Sulaeman dan segera ke daerah anaknya itu. Tetapi lantaran kurang hati-hati, terperosoklah ia jatuh, sehingga seketika itu juga Baginda Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di Gunung Padang.
Pada waktu Pendekar Lima hendak menikam Syamsul Bahri, menghindarlah Syamsul Bahri ke samping. Dan pada dikala itu juga ia berhasil menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga keris yang ada di tangannya terlepas. Sementara itu datanglah para tetangga yang mendengar teriakan Siti Nurbaya tadi. Melihat mereka datang, larilah Pendekar Lima menyelinap ke daerah yang gelap.
Di para tetangga yang tiba itu, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang hendak menuntaskan bencana itu. Setelah ia mendengar klarifikasi Datuk Maringgih ihwal soal anaknya itu, maka Syamsul Bahri oleh Sutan Mahmud Syah tanpa dipikirkan masak-masak lebih dulu lagi. Pada malam hari itu juga secara belakang layar pergilah Syamsul Bahri ke Teluk Bayur untuk naik kapal pergi ke Jakarta. Pada pagi harinya ributlah Siti Mariam mencari anaknya. Setelah gagal mencarinya di sana-sini, maka dengan sedihnya, pergilah Siti Maryam ke rumah saudaranya di Padangpanjang. Di sana lantaran rasa kepedihannya itu, ia menjadi sakit-sakit saja.
Sejak kematian ayahnya, Siti Nurbaya menujukan kekerasan hatinya kepada Datuk Maringgih. Ia berani mengusir Datuk Maringgih dan tak mau mengakui suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan dendam pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya. Ia berusaha hendak membunuh Siti Nurbaya.
Setelah bencana pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu Siti Nurbaya tinggal di rumah saudara sepupunya yang berjulukan Alimah. Di rumah itulah Siti Nurbaya menerima petunjuk-petunjuk dan nasihat, antara lain ialah untuk menjaga keselamatan atas dirinya, Siti Nurbaya dinasihati oleh Alimah semoga pergi saja ke Jakarta, berkumpul dengan Syamsul Bahri. Penunjuk dan pesan yang tersirat Alimah sepenuhnya diterima oleh Siti Nurbaya dan diputuskannya, akan pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sultan Mahmud Syah semenjak pengusiaran diri atas Syamsul Bahri tersebut. Kepada Syamsul Bahri pun ia memberitahukan kedatangannya itu. Tetapi malang bagi Siti Nurbaya, lantaran percakapannya dengan Alimah tersebut sanggup didengar oleh kaki tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.
Pada hari yang telah ditetapkan, berangkatlah Siti Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta. Mereka mengetahui bahwa perjalanan mereka diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar Lima. Setelah Siti Nurbaya dan Pak Ali naik ke kapal dan mencari daerah yang tersembunyi sekat Kapten kapal maka berkatalah Pendekar Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti perjalanan Siti Nurbaya ke Jakarta, sedang Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan bencana itu kepada Datuk Maringgih. Setelah itu Pendekar Lima pun naik ke kapal dan mencari daerah yang tersembunyi pula.
Pada suatu dikala tatkala orang menjadi ribut akhir ombak yang sangat besar, pergilah Pendekar Lima mencari daerah Siti Nurbaya. Setelah ia mendapati Siti Nurbaya, iapun segera menyeret Siti Nurbaya hendak membuangnya ke laut. Melihat bencana itu Pak Ali membelanya, tetapi iapun menerima pukulan Pendekar Lima dan tak bisa melawannya lantaran Pendekar Lima jauh lebih besar lengan berkuasa daripadanya. Siti Nurbaya pun berteriak sekuat-kuatnya hingga ia jatuh pingsan. Teriaknya itu terdengar oleh orang-orang yang ada dalam kapal, lebih-lebih Kapten kapal itu. Karena takut ketehuan akan perbuatannya itu, Pendekar Lima lari menyembunyikan dirinya. Siti Nurbaya akibatnya diangkut orang ke suatu kamar untuk dirawatnya.
Akhirnya kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Bahri sudah gelisah menantikan kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelah kapal itu merapat ke darat, maka naiklah Syamsul Bahri ke kapal dan mencari Siti Nurbaya. Alangkah terkejutnya tatkala ia mendengar dari Kapten kapal dan Pak Ali ihwal bencana yang terjadi atas diri Siti Nurbaya itu. Dengan diantar Kapten kapal dan Pak Ali, pergilah Syamsul Bahri ke kamar Siti Nurbaya dirawat. Disitu dijumpainya Siti Nurbaya yang masih dalam keadaan payah.
Pada dikala itu tiba-tiba datanglah polisi mencari Siti Nurbaya. Setelah berjumpa dengan Kapten kapal dan Syamsul Bahri, diberitahukan kepada mereka itu bahwa kedatangannya mencari Siti Nurbaya itu ialah atas perintah atasannya yang telah menerima telegram dari Padang, bahwa ada seorang perempuan berjulukan Siti Nurbaya telah melarikan diri dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diperlukan semoga orang itu di tahan dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar itu mengertilah Syamsul Bahri bahwa hal itu tidak lain nalar amis Datuk Maringgih belaka. Ia pun minta kepada Polisi itu semoga hal tersebut jangan diberitahukan dahulu kepada Siti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya yang menghawatirakan itu. Ia meminta kepada yang berwajib semoga kekasihnya itu dirawat dulu di Jakarta hingga sembuh sebelun kembali ke Padang. Permintaan Syamsul Bahri itu dikabulkan setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan perlunya perawatan atas diri Siti Nurbaya. Setelah Siti Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu kepada kekasihnya. Kabar itu diterima oleh Siri Nurbayadengan bahagia hati. Ia bermaksud kembali ke Padang untuk menuntaskan dilema yang di dakwakan atas dirinya. Setelah permintaan Syamsul Bahri kepada yang berwajib semoga masalah kekasihnya itu diperiksa di Jakarta saja tidak dikabulkan, maka pada hari yang ditentukan, berangkatlah Siti Nurbaya ke Padang dengan diantar oleh yang berwajib. Dalam investigasi di Padang ternyata bahwa Siti Nurbaya tidak terbukti melaksanakan kejahatan ibarat yang telah didakwakan atas dirinya itu. Karena itulah Siti Nurbaya di bebaskan dan disana ia tinggal di rumah Alimah
Pada suatu hari walaupun tidak disetujui Alimah, Siti Nurbaya membeli camilan cantik yang dijajakan oleh Pendekar Empat, kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang sengaja disediakan khusus untuk Siti Nurbaya itu telah diisi racun. Setelah penjaja camilan cantik itu pergi, Siti Nurbaya makan camilan cantik yang gres saja dibelinya. Setelah makan camilan cantik itu terasa oleh Siti Nurbaya kepalanya pening. Tak usang kemudian Siti Nurbaya meninggal secara mendadak itu, terkejutlah ibu Syamsul Bahri, yang pada waktu itu sedang menderita sakit keras, sehingga mengakibatkan kematiannya. Kedua jenajah itu dikebumikan di Gunung Padang disamping makam Baginda Sulaeman.
Kabar kematian Siti Mariam dan Siti Nurbaya itu juga dikawatkan kepada Syamsul Bahri di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan itu, Syamsul Bahri menetapkan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu dilakukannya ia menulis surat kepada guru dan kawan-kawannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang, untuk minta dari berpisah untuk selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama Zainularifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh Syamsul Bahri sehingga Zainularifin pun tidak mengetehuinya. Sesampainya ke kantor pos Syamsul Bahri minta berpisah dengan Zainularifin sengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Zainularifin memperkenankannya, tetapi dengan tak setahu Syamsul Bahri, ia menikuti gerak-gerik sahabatnya itu, lantaran mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Pada suatu daerah di kegelapan, Syamsul Bahri berhenti dan mengeluarkan pistolnya dan kemudian menghadapkan ke kepalanya. Melihat itu Zainularifin segera mengejarnya sambil berteriak. Karena teriakan Zainularifin itu, peluru yang telah meletus itu tidak mengenai sasarannya. Akhirnya kabar ihwal seorang murid Sekolah Dokter Jawa Di Jakarta yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat kabar. Kabar itu hingga di Padang dan di dengar oleh Sutan Mahmud dan Datuk Maringgih.
Karena perawatan yang baik, sembuhlah Syamsul Bahri, ia minta kepada yang berwajib semoga isu mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan setelah itu Syamsul Bahri berhenti sekolah. Karena ia menginginkan mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia dikirim kemana-mana antara lain ke Aceh untuk memadamkan kerusakan-kerusakan yang terjadi di sana. Karena keberaniannya, makan dalam waktu sepuluh tahun saja pangkat Syamsul Bahri dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada suatu hari Letnan Mas bersama kawannya berjulukan Letnan Van Sta ditugasi memimpin anak buahnya memadamkan pemberontakkan mengenai dilema balasting (pajak). Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah Letnan Mas ke makam ibu dan kekasihnya di Gunung Padang.
Dalam pertempuran dengan pemberontak itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontak itu. Setelah bercekcok sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga menemui ajalnya. Tetapi sebelum meninggal Datuk Maringgih masih sempat membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang mengakibatkan ia rebah. Ia rebah di atas timbunan mayat, dan yang antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas pun diangkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya bahwa ia tak usang lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya semoga dipanggilkan penghulu di Padang yang berjulukan Sutan Mahmud Syah, lantaran dikatakannya ada dilema yang sangat penting. Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun berkata kepadanya bahwa Syamsul Bahri masih hidup dan kini berada di Padang untuk memadamkan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit lantaran luka-luka yang dideritanya. Dikatakannya pula kepadanya, bahwa Syamsul Bahri kini berjulukan Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta di kebumikan di gunung Padang diantara makam Siti Nurbaya dan Siti Maryam. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas meninggal.
Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang merawatnya, barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui bahwa yang gres saja meninggal itu yaitu anaknya sendiri, yakni Letnan Mas alias Syamsul Bahri. Kemudian dengan upacara kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dinamakanlah mayat Letnan Mas atau Syamsul Bahri itu diantara makam Siti Maryam dan Siti Nurbaya ibarat yang dimintanya.
Sepeninggal Syamsul Bahri, lantaran sesal dan sedihnya maka meninggal pula Sutan Mahmud Syah beberapa hari kemudian. Jenazahnya dikebumikan didekat makam isterinya, yakni Siti Maryam. Dengan demikian di kuburan gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar dan berderet, yakni makam Baginda Sulaeman, Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, Siti Maryam dan Sutan Mahmud Syah.
Beberapa bulan kemudian berziarahlah Zainularifin dan Baktiar telah lulus dalam ujiannya sehingga masing-masing telah menjadi dokter san opzichter.
Kutipan
“Arifin, saya belum menceritakan penglihatanku tadi malam, kepadamu, bukan?” kata Syamsul Bahri kepada sahabatnya, pada keesokan harinya daripada malam Nurbaya kena racun, kira-kira pukul dua siang, tatkala mereka itu pulang dari rumah tempatnya membayar makan.
“Penglihatan apa, Sam?” tanya Arifin.
“Ajaib benar! Sampai kepada waktu ini belum habis kupikirkan, lantaran belum juga kuketahui, apa itu dan apa maksudnya?”
“Cobalah ceritakan,” kata Arifin pula.
“Sebagai biasa,” kata Samsu,” pukul sepuluh malam, pergilah saya tidur. Kira-kira pukul dua belas, dengan tiada kuketahui apa sebabnya, tiba-tiba terbangunlah saya dengan terperanjat, ibarat apa yang membangunkan. Tatkala kubuka mataku, kelihatan olehku akrab meja tulisku, sesuatu bayang-bayang putih, berdiri di belakang kursiku. Sangatlah terperanjat aku, ketika melihat bayang-bayang itu, alasannya pada sangkaku, ia pencuri atau penjahat yang telah masuk ke dalam bilikku,”
“Tetapi kalau pencuri atau penjahat, mengapakah berpakaian putih?” kata Arifin.
“Itulah sebabnya maka terpikir pula olehku, barangkali saya bermimpi; kemudian kupijitlah pahaku, beberapa kali. Akan tetapi, tatkala telah faktual benar kepadaku, bahwa saya tiada tidur lagi, barang yang putih itu masih kelihatan juga.”
“Barangkali pemandangan tiada benar,” kata Arifin, yang belum hendak percaya hendak hilang.”
“Oleh alasannya itu, kugosoklah mataku beberapa lamanya; tetapi yang putih itu tek hendak hilang.”
“Barangkali engkau takut atau tatkala hendak tidur, banyak mengingat masalah setan dan hantu; jadi segala yang kamu lihat, rupanya sebagai setan,” sehut Arifin pula.
“Engkau tahu sendiri, Arifin, saya tiada penakut kepada segala yang demikian. Lagipula, tatkala gres saja kubuka mataku, telah kelihatan bayang-bayang yang putih itu olehku. Betapa orang yang gres bangun tidur akan takut, kalau tiada bermimpi yang dahsyat!”
“Bagaimana bentuknya?” tanya Arifin, yang rupanya mulai percaya akan dongeng Samsu ini.
“Sebagai manusia, berkepala, berbadan, bertangan, dan berkaki,” sahut Samsu,” serta menggunakan pakaian sutra putih yang jarang.”
“Sebagai manusia?” tanya Arifin yang mulai merasa takut, walaupun hari pada waktu itu pukul dua siang dan orang penuh di jalan besar, “Hih! Seram buluku mendengar ceritamu.”
“Sesungguhnya,” jawab Samsu. “Melihat hal yang gila ini, meskipun berapa beraniku, berdebar juga hatiku dan sejurus lamanya, tidaklah tahu aku, apa yang hendak kuperbuat. Hendak berteriak, malu rasanya. Lagipula suaraku tak hendak keluar, sebagai dicekik orang. Hendak berdiri, tubuh dan kaki berat rasanya. Dibiarkan saja, takut kalau-kalau dianiaya aku. Walaupun kuberanikan hatiku, badanku serasa kembang dan punggungku sebagai terkena air dingin.”
“Sudah itu?” tanya Arifin, yang makin bertambah-tambah takut.
“Tatkala kuamat-amati benar bayang-bayang yang putih itu, kelihatanlah mukanya ibarat muka Nurbaya.”
“Nurbaya?” tanya Arifin dengan heran.
“Ya, tak ada ubahnya; hanya wajah mukanya pucat sedikit. Sebab itu meskipun hatiku masih khawatir, dapatkah juga kuberanikan diriku, akan mengeluarkan perkataanku, kemudian bertanya,” Siapa ini?”
“Dan apa jawabnya?” tanya Arifin dengan lekas.
“Tak apa-apa. Ia membisu saja dan tidak pula bergerak-bergerak dari tempatnya.”
“Kemudian?” tanya Arifin pula.
“Kemudian melompatlah aku, hendak mengambil pistolku dari dalam lemari dan sudah itu, hendak kudekati dia. Tetapi tatkala itu juga hilanglah bayang-bayang itu; entah kemana perginya tiada kuketahui.”
“Betul berani engkau,” kata Arifin.
“Tatkala itu datanglah takutku dan menolehlah saya ke segenap daerah kalau-kalau dicekiknya saya dari belakang. Tatapi tak kelihatan suatu apa lagi. Lalu kupasanglah lampu dan kuambil pistolku dari dalam lemari. Ketika itu barulah berani saya memaksa saya kesana kemari, ke bawah daerah tidur, ke bawah mwja dan ke belakang lemari, tetapi suatu pun tiada kelihatan, sedang jendela dan pintu pun masih terkunci.”
“Jika saya bertemu yang denikian, tentulah saya menjerit minta tolong, kalau masih dapat, berteriak. Kalau tidak tentulah saya akan kaku di sana juga, lantaran ketakutan.”
“Setelah kututup lampu itu dengan keras, supaia terangnya jangan kelihatan dari luar dan kutaruh pistolku dibawah bantalku, berbaringlah aku. Tetapi setelah itu tiadalah saya sanggup tidur lagi; pertama lantaran takut akan didatanginya kembali dalam tidurku, kedua memikirkan penglihatan yang gila itu. Apakah itu yaitu takdir! Itulah setan atau hantu!”
“Tetapi kalau hantu, mengapakah rupanya serupa dengan Nurbaya? Yang menjadi hantu itu, bukankah kata orang yang sudah mati, kata orang?” jawab Arifin.
“Sesungguhnya, seumur hidupku, gres kali itu saya melihat bayang-bayang yang demikian,” jawab Samsu, yang sekali-kali tiada mengira, bahwa Nurbaya talah mati.”Bukan mimpi tetapi sebenar-benarnya penglihatan itu.”
“Sungguh gila penglihatanmu itu. Tetapi kuharap janganlah saya hingga bertemu dengan penglihatan yang serupa itu; takut sanggup celaka.”
“Karena tak sanggup tidur lagi, terkenanglah saya akan Nurbaya dan Ibuku. Negri dan kampung halamanku kita, serta timbulah hasrat yang amat dalam hatiku, hendak pulang meneui mereka sekalian dan menyesallah aku, tiada sanggup pergi mengantarkan Nurbaya pulang ke Padang, baru-baru ini. Belun pernah keinginan hatiku hendak pulang sekeras tadi malam. Dimukaku terbayang pula segala kesukaan dan kesusahan, yang telah kurasai, semenjak kita berjalan-jalan ke Gunung Padang. Nakin ku ingat nurbaya, maki kuatir hatiku dan makin terasa pula olehku alpa dan lengahku, melepaskan beliau seorang diri, kembali kedalam lisan harimau itu. Terkadang-kadang khawatir hatiku itu menjadikan perasaan, sebagai benar Nurbaya menerima celaka.”
“Ah, kuliner begitu! Tak berapa usang lagi, tentulah ia di sini. Jika tada, baik kamu jemput saja; perkaranya tentulah selesai,” jawab Arifin.
“Maksudku demikian juga. Kalau hari Sabtu yang akan tiba ini belum juga hingga kemari, tentulah akan kujemput sendiri ke Padang.”
Dengan bercakap-cakap demikian, tibalah kedua mereka di rumah Sekolah Dokter Jawa, kemudian terus menuju bilik masing-masing. Sejurus kemudian daripada itu, datanglahseorang opas pos membawa dua helai surat kawat, untuk Syamsul Bahri. Ditanyakannya kepada Arifin, di mana Syamsul Bahri, kemudian ditunjukan oleh Arifin bilik sahabatnya ini.
“Tatkala Arifin, setengah jam setelah itu, pergi ke bilik Samsu, hendak menanyakan surat kawat apakah yang ditarimanya tadi sua dekali, kelihatan olehnya pintu dan jendela bilik itu telah tertutup. Pada sangkanya, Samsu tentulah telah tidur, untuk melepaskan kantuknya, lantaran kurang tidur semalam. Oleh alasannya ia tiada hendak mengganggu sahabatnya itu, ditunggunyalah hingga Samsu bangun kembali.
“Maksud Samsu sebelum mendapatkan kedua surat kawat tadi, sesungguhnya hendak pergi tidur; jendelanya pun telah ditutupnya. Setelah diterimanya surat itu, ditutupnyalah pula pintunya, lantaran hendak membaca kabar itu seorang diri; lebih-lebih, lantaran kedua surat kawat itu sangat memberi khawatir hatinya.
“Dari siapakah kabar kawat ini, dan bagaimanakah bunyinya?” katanya dalam hati.” O, barangkali dari Nurbaya, memberitahu ia akan tiba kemari.
“Tetapi yang sebuah lagi, dari siapa pula?” Demikianlah pertanyaan yang timbul dalam hatinya.
Sambil berpikir-pikir demikian, dibukanyalah kedua surat kawat itu dengan tangan yang gemetar. Setelah dibacanya kedua surat itu, jatuhlah ia pingsan, tiada kabar darinya, alasannya kedua surat itulah yang membawa kabar kematian Nurbaya dan ibunya.
Berapa lamanya ia terbaring pingsan itu, tiadalah diketahuinya. Ketika ia sadarkan dirinya pula, yaitu halnya ibarat seorang yang gila, tak sanggup berpikir dan berkata-kata. Menangis pun tiada kuasa, sebagai tak lembap lagi matanya. Sesudah melamun sejurus lamanya, diambilnya kertas, dan kalam, kemudian ditulisnya sepucuk surat kepada ayahnya.
Dikutip dari Novel Siti Nurbaya hal 215 – 217,
Analisis Intrinsik
1.Tokoh dan Penokohan
1)Samsul Bahri sebagai pelaku utama (Tokoh Protagonis): anak Sultan Mahmud Syah (penghulu di Padang), wataknya: Orangnya pandai, tingkah lakuya sopan dan santun, halus budibahasanya, sanggup dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
2)Siti Nurbaya sebagai pelaku utama (Tokoh Protagonis): anak Bginda Sulaeman (saudagar kaya di Padang), wataknya: Lemah lembut, penyayang, tutur bahasanya halus, sopan dan santun, baik hati, setia kawan, patuh terhadap orang tua.
3)Datuk Maringgih sebagai pelaku utama (Tokoh Antagonis), pria yang berwatak kikir, picik, penghasud, kejam, sombong, bengis, mata keranjang, penipu, dan selalu memaksakan kehendaknya sendiri.
4)Sultan Mahmud Syah sebagai pelaku pelengkap (Toloh Protagonis), Ayahnya Samsul Bahri yang berwatak: Bijaksana, sopan, ramah, adil, penyayang.
5)Siti Maryam sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Protagonis), berwatak: Bijaksana, sopan, ramah, adil, penyayang.
6)Baiginda Sulaeman sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Protagonis), berwatak: Bijaksana,sopan, ramah, adil, penyayang.
7)Zainularifin sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Protagonis), temannya Samsul Bahri yang berwatak: Tingkah lakunya sopan dan santun, halus kebijaksanaan bahasanya, sanggup dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
8)Bakhtiar sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Protagonis), temannya Samsul Bahri yang berwatak: Tingkahlakunya sopan dan santun, halus budibahasanya, sanggup dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
9)Alimah sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Protagonis), saudaranya Siti Nurbaya, yang bewatak lemah lembut, santun setiakawan, bijaksana.
10)Pak Ali sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Protagonis).
110 Pendekar Tiga sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Antagonis)
12)Pendekar Empat sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Antagonis)
13)Penekar Lima sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Antagonis)
14)Dokter sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Protagonis)
2.Tema
Novel “ Siti Nurbaya” ini bertemakan sosial, moral, dan egois. Tema yang terkandung dalam novel ini yaitu; “Satu percintaan antara dua sampaumur yang tidak sanggup berakhir dengan ijab kabul lantaran penghianatan seseorang yang hanya mementingkan kekayaan dunia dan hawa nafsu.
3.Amanat
Amanat yang terkandung dalan novel “Siti Nurbaya” yaitu diantaranya yaitu sebagai berikut :
1)Kita hendaknya jangan terlalu di kuasai oleh perasan dengan tidak mempergunakan pikiran yang sehat lantaran akan berakibat hilangnya keperibadian yang ada pada diri kita.
2)Jika hendak menetapkan sesuatu hendaklah pikirkan masak-masak lebih dulu semoga kelak tidak menyesal.
3)Siapa yang berbuat jahat tentu akan menerima jawaban kelak sebagai akhir dari perbuatan itu.
4.Latar atau Seting
Latar atau Seting ini terdiri atas dua penggalan yaitu : latar waktu dan latar tempat. Latar daerah dalam novel “Siti Nirbaya” diantaranya: di sekolah, di kota Padang,di kota Jakarta, di Kebun Kelapa, di rumah, di halaman rumah, di kantor pos. Latar waktu: sekitar tahun 1920-an.
5.Plot/Alur
Dari segi penysunan bencana atau bagian-bagian yang membentuk, dongeng dari novel “Siti Nurbaya” menggunakan plot kronologis atau progresif, yang lebih dikenal dengan Alur Maju. Makara dongeng novel “Siti Nurbaya” ini ceritanya benar-benar dimulai dari eksposisi, komplikasi, klimaks, dan berakhir dengan pemecahan masalah. Pengarang menyajikan ceritanya secara terurut atau secara alamiah. Artinya urutan waktu yang urut dari bencana A,B,C,D dan seterusnya.
6.Sudut Pandang
Sudut pandang yag dipakai oleh pengarang movel “Siti Nurbaya” ini yaitu sudut pandang diaan-mahatahu. Pengarang berada di luar dongeng hanya menjadi seorang pengamat yang maha tahu dan bahkan bisa berdialog pribadi dengan pembaca.
7.Gaya Penulisan
Gaya penulisan yang di gunakan masih menggunakan gaya bahasa dan sastra usang yang menggunakan ejaan tempo dulu, sehingga mengharuskan adanya pemahaman yang lebih dalam semoga makna dalam novel tersebut sanggup dipahami.
A.Kaitan Karya Sastra Novel dengan Tema pada Zamannya
Cerita dalam novel ini menceritakan ihwal kelicikan tuan tanah dalam memonopoli perdagangan tanah. Cerita dalam novel ini berkaitan pada masa itu banyak terjadi bencana kelicikan yang dilakukan oleh para tuan tanah, sehingga pengarang memunculkan inspirasi novel tersebut sebagai sajian yang menarik.
Penerbit : Balai Pustaka
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal : 271 halaman
Pelaku : Siti Nurbaya, Samsulbahri, Datuk Maringgih, Baginda Sulaiman, dan
Sultan Mahmud.
Sinopsis
Seorang penghulu di Padang yang berjulukan Sutan Mahmudsyah dengan isterinya, Siti Mariam yang berasal dari orang kebanyakan memiliki seorang anak tunggal pria yang berjulukan Syamsul Bahri. Rumah Sutan Mahmudsyah akrab dengan rumah seorang saudagar berjulukan Baginda Sulaeman. Baginda Sulaeman yang memiliki seorang anak perempuan tunggal berjulukan Siti Nurbaya. Mereka itu sangat karib sehingga ibarat abang dengan adik saja.
Pada suatu hari setelah pulang dari sekolah, Syamsul Bahri mengajak Siti Nurbaya ke gunung Padang gotong royong dua orang temannya, yakni Zainularifin, anak seorang jaksa kepala di Padang yang berjulukan Zainularifin akan melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Dokter Jawa di Jakarta. Sedang Bahtiar melanjutkan ke Sekolah Opzicther (KWS) di Jakarta pula. Syamsul Bahri pun akan melanjutkan ke Sekolah Dokter tersebut. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka bertamasya ke Gunung Padang. Di Gunung Padang itulah Syamsul Bahri menyatakan cintanya kepada Siti Nurbaya dan menerima balasan. Sejak itulah mereka itu mengadakan perjanjian akan sehidup semati.
Pada suatu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Syamsul Bahri melanjutkan sekolahnya ke Jakarta. Sekolahnya menjadi satu dengan Zainularifin.
Di Padang ada seorang orang kaya berjulukan Datuk Maringgih. Ia selalu berbuat kejahatan secara halus sehingga tidak diketahui orang lain. Kekayaannya itu didapatnya dengan cara tidak halal. Untuk itu ia memiliki banyak kaki tangan, antara lain ialah Pendekar Tiga, Pendekar empat, dan Pendekar Lima.
Melihat kekayaan Baginda Sulaeman Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka semua kekayaan Baginda Sulaeman diputuskan akan dilenyapkan. Dengan mediator kaki tangannya itu, dibakarlah tiga buah toko Baginda Sulaeman, perahu-perahunya yang penuh berisi muatan ditenggelamkannya.
Untuk memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada Datuk Maringgih sebanyak sepuluh ribu rupiah, lantaran untuk mengembalikan uang proteksi itu ia masih memiliki pengharapan atas hasil kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak ada yang berbuah sedikitpun. Disamping itu, lantaran hasutan kaki tangan Datuk Maringgih semua langganan yang telah berhutang kepada Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya. Dengan demikian, tiba-tiba Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga ia tidak sanggup membayar hutangnya yang sepuluh ribu rupiah itu. Barang-barangnya masih ada hanya kira-kira seharga tujuh ribu rupiah.
Karena Baginda Sulaeman tak sanggup membayar utangnya, maka Datuk Maringgih bermaksud hendak menyita barang-barang milik Baginda Sulaeman, kecuali kalau Siti Nurbaya diserahkan kepadanya sebagai istrinya. Mula-mula Siti Nurbaya tidak sudi tetapi ketika melihat ayahnya digiring hendak dimasukkan penjara, maka secara terpaksalah ia mau menjadi istri Datuk Maringgih walaupun bergotong-royong hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya bencana yang menimpa diri ayah dan dirinya sendiri itu segera diberitahukan oleh Siti Nurbaya kepada Syamsul Bahri di Jakarta.
Setelah setahun di Jakarta, menjelang bulan puasa, pulanglah Syamsul Bahri ke Padang. Setelah menjumpai orang tuanya semuanya sehat walafiat, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar dari Ibunya bahwa Baginda Sulaeman sakit. Sesampainya ke daerah yang dituju, dijumpainya Baginda Sulaeman sedang terbaring lantaran sakit. Tak usang setelah kedatangan Syamsul Bahri itu, datanglah Siti Nurbaya lantaran ayahnya mengharapkan kedatangan. Maka berjumpalah Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya. Beberapa hari kemudian, bertemu pula Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya, pertemuan itu terjadi pada malam hari. Kedua asyik masyuk itu tidak mengetahui bahwa gerak-gerik mereka itu sedang diikuti oleh Datuk Maringgih beserta kaki tangannya. Karena tak tahan mereka itu menahan rindunya maka merekapun berciuman. Pada waktu itulah Datuk Maringgih mendapatkan mereka dan terjadilah percekcokan, lantaran mendengar kata-kata yang pedas dari Syamsul Bahri, maka Datuk Maringgih memukulkan tongkatnya sekeras-kerasnya kepada Syamsul Bahri. Tetapi lantaran Syamsul Bahri menghindarkan dirinya diambil menyeret Siti Nurbaya, maka pukulan datuk Maringgih tidak mengenai sasarannya. Akibatnya tersungkurlah Datuk Maringgih. Dengan segera Syamsul Bahri menendangnya, dan lantaran kesakitan, berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan Datuk Maringgih itulah maka pada dikala itu juga keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya dengan bersenjatakan sebilah keris.
Melihat Pendekar Lima membawa keris itu, berteriaklah Siti Nurbaya sehingga teriakannya itu terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaeman yang sedang sakit itu, lantaran disangkanya Siti Nurbaya menerima kecelakaan maka bangkitlah Baginda Sulaeman dan segera ke daerah anaknya itu. Tetapi lantaran kurang hati-hati, terperosoklah ia jatuh, sehingga seketika itu juga Baginda Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di Gunung Padang.
Pada waktu Pendekar Lima hendak menikam Syamsul Bahri, menghindarlah Syamsul Bahri ke samping. Dan pada dikala itu juga ia berhasil menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga keris yang ada di tangannya terlepas. Sementara itu datanglah para tetangga yang mendengar teriakan Siti Nurbaya tadi. Melihat mereka datang, larilah Pendekar Lima menyelinap ke daerah yang gelap.
Di para tetangga yang tiba itu, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang hendak menuntaskan bencana itu. Setelah ia mendengar klarifikasi Datuk Maringgih ihwal soal anaknya itu, maka Syamsul Bahri oleh Sutan Mahmud Syah tanpa dipikirkan masak-masak lebih dulu lagi. Pada malam hari itu juga secara belakang layar pergilah Syamsul Bahri ke Teluk Bayur untuk naik kapal pergi ke Jakarta. Pada pagi harinya ributlah Siti Mariam mencari anaknya. Setelah gagal mencarinya di sana-sini, maka dengan sedihnya, pergilah Siti Maryam ke rumah saudaranya di Padangpanjang. Di sana lantaran rasa kepedihannya itu, ia menjadi sakit-sakit saja.
Sejak kematian ayahnya, Siti Nurbaya menujukan kekerasan hatinya kepada Datuk Maringgih. Ia berani mengusir Datuk Maringgih dan tak mau mengakui suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan dendam pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya. Ia berusaha hendak membunuh Siti Nurbaya.
Setelah bencana pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu Siti Nurbaya tinggal di rumah saudara sepupunya yang berjulukan Alimah. Di rumah itulah Siti Nurbaya menerima petunjuk-petunjuk dan nasihat, antara lain ialah untuk menjaga keselamatan atas dirinya, Siti Nurbaya dinasihati oleh Alimah semoga pergi saja ke Jakarta, berkumpul dengan Syamsul Bahri. Penunjuk dan pesan yang tersirat Alimah sepenuhnya diterima oleh Siti Nurbaya dan diputuskannya, akan pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sultan Mahmud Syah semenjak pengusiaran diri atas Syamsul Bahri tersebut. Kepada Syamsul Bahri pun ia memberitahukan kedatangannya itu. Tetapi malang bagi Siti Nurbaya, lantaran percakapannya dengan Alimah tersebut sanggup didengar oleh kaki tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.
Pada hari yang telah ditetapkan, berangkatlah Siti Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta. Mereka mengetahui bahwa perjalanan mereka diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar Lima. Setelah Siti Nurbaya dan Pak Ali naik ke kapal dan mencari daerah yang tersembunyi sekat Kapten kapal maka berkatalah Pendekar Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti perjalanan Siti Nurbaya ke Jakarta, sedang Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan bencana itu kepada Datuk Maringgih. Setelah itu Pendekar Lima pun naik ke kapal dan mencari daerah yang tersembunyi pula.
Pada suatu dikala tatkala orang menjadi ribut akhir ombak yang sangat besar, pergilah Pendekar Lima mencari daerah Siti Nurbaya. Setelah ia mendapati Siti Nurbaya, iapun segera menyeret Siti Nurbaya hendak membuangnya ke laut. Melihat bencana itu Pak Ali membelanya, tetapi iapun menerima pukulan Pendekar Lima dan tak bisa melawannya lantaran Pendekar Lima jauh lebih besar lengan berkuasa daripadanya. Siti Nurbaya pun berteriak sekuat-kuatnya hingga ia jatuh pingsan. Teriaknya itu terdengar oleh orang-orang yang ada dalam kapal, lebih-lebih Kapten kapal itu. Karena takut ketehuan akan perbuatannya itu, Pendekar Lima lari menyembunyikan dirinya. Siti Nurbaya akibatnya diangkut orang ke suatu kamar untuk dirawatnya.
Akhirnya kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Bahri sudah gelisah menantikan kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelah kapal itu merapat ke darat, maka naiklah Syamsul Bahri ke kapal dan mencari Siti Nurbaya. Alangkah terkejutnya tatkala ia mendengar dari Kapten kapal dan Pak Ali ihwal bencana yang terjadi atas diri Siti Nurbaya itu. Dengan diantar Kapten kapal dan Pak Ali, pergilah Syamsul Bahri ke kamar Siti Nurbaya dirawat. Disitu dijumpainya Siti Nurbaya yang masih dalam keadaan payah.
Pada dikala itu tiba-tiba datanglah polisi mencari Siti Nurbaya. Setelah berjumpa dengan Kapten kapal dan Syamsul Bahri, diberitahukan kepada mereka itu bahwa kedatangannya mencari Siti Nurbaya itu ialah atas perintah atasannya yang telah menerima telegram dari Padang, bahwa ada seorang perempuan berjulukan Siti Nurbaya telah melarikan diri dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diperlukan semoga orang itu di tahan dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar itu mengertilah Syamsul Bahri bahwa hal itu tidak lain nalar amis Datuk Maringgih belaka. Ia pun minta kepada Polisi itu semoga hal tersebut jangan diberitahukan dahulu kepada Siti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya yang menghawatirakan itu. Ia meminta kepada yang berwajib semoga kekasihnya itu dirawat dulu di Jakarta hingga sembuh sebelun kembali ke Padang. Permintaan Syamsul Bahri itu dikabulkan setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan perlunya perawatan atas diri Siti Nurbaya. Setelah Siti Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu kepada kekasihnya. Kabar itu diterima oleh Siri Nurbayadengan bahagia hati. Ia bermaksud kembali ke Padang untuk menuntaskan dilema yang di dakwakan atas dirinya. Setelah permintaan Syamsul Bahri kepada yang berwajib semoga masalah kekasihnya itu diperiksa di Jakarta saja tidak dikabulkan, maka pada hari yang ditentukan, berangkatlah Siti Nurbaya ke Padang dengan diantar oleh yang berwajib. Dalam investigasi di Padang ternyata bahwa Siti Nurbaya tidak terbukti melaksanakan kejahatan ibarat yang telah didakwakan atas dirinya itu. Karena itulah Siti Nurbaya di bebaskan dan disana ia tinggal di rumah Alimah
Pada suatu hari walaupun tidak disetujui Alimah, Siti Nurbaya membeli camilan cantik yang dijajakan oleh Pendekar Empat, kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang sengaja disediakan khusus untuk Siti Nurbaya itu telah diisi racun. Setelah penjaja camilan cantik itu pergi, Siti Nurbaya makan camilan cantik yang gres saja dibelinya. Setelah makan camilan cantik itu terasa oleh Siti Nurbaya kepalanya pening. Tak usang kemudian Siti Nurbaya meninggal secara mendadak itu, terkejutlah ibu Syamsul Bahri, yang pada waktu itu sedang menderita sakit keras, sehingga mengakibatkan kematiannya. Kedua jenajah itu dikebumikan di Gunung Padang disamping makam Baginda Sulaeman.
Kabar kematian Siti Mariam dan Siti Nurbaya itu juga dikawatkan kepada Syamsul Bahri di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan itu, Syamsul Bahri menetapkan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu dilakukannya ia menulis surat kepada guru dan kawan-kawannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang, untuk minta dari berpisah untuk selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama Zainularifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh Syamsul Bahri sehingga Zainularifin pun tidak mengetehuinya. Sesampainya ke kantor pos Syamsul Bahri minta berpisah dengan Zainularifin sengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Zainularifin memperkenankannya, tetapi dengan tak setahu Syamsul Bahri, ia menikuti gerak-gerik sahabatnya itu, lantaran mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Pada suatu daerah di kegelapan, Syamsul Bahri berhenti dan mengeluarkan pistolnya dan kemudian menghadapkan ke kepalanya. Melihat itu Zainularifin segera mengejarnya sambil berteriak. Karena teriakan Zainularifin itu, peluru yang telah meletus itu tidak mengenai sasarannya. Akhirnya kabar ihwal seorang murid Sekolah Dokter Jawa Di Jakarta yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat kabar. Kabar itu hingga di Padang dan di dengar oleh Sutan Mahmud dan Datuk Maringgih.
Karena perawatan yang baik, sembuhlah Syamsul Bahri, ia minta kepada yang berwajib semoga isu mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan setelah itu Syamsul Bahri berhenti sekolah. Karena ia menginginkan mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia dikirim kemana-mana antara lain ke Aceh untuk memadamkan kerusakan-kerusakan yang terjadi di sana. Karena keberaniannya, makan dalam waktu sepuluh tahun saja pangkat Syamsul Bahri dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada suatu hari Letnan Mas bersama kawannya berjulukan Letnan Van Sta ditugasi memimpin anak buahnya memadamkan pemberontakkan mengenai dilema balasting (pajak). Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah Letnan Mas ke makam ibu dan kekasihnya di Gunung Padang.
Dalam pertempuran dengan pemberontak itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontak itu. Setelah bercekcok sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga menemui ajalnya. Tetapi sebelum meninggal Datuk Maringgih masih sempat membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang mengakibatkan ia rebah. Ia rebah di atas timbunan mayat, dan yang antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas pun diangkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya bahwa ia tak usang lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya semoga dipanggilkan penghulu di Padang yang berjulukan Sutan Mahmud Syah, lantaran dikatakannya ada dilema yang sangat penting. Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun berkata kepadanya bahwa Syamsul Bahri masih hidup dan kini berada di Padang untuk memadamkan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit lantaran luka-luka yang dideritanya. Dikatakannya pula kepadanya, bahwa Syamsul Bahri kini berjulukan Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta di kebumikan di gunung Padang diantara makam Siti Nurbaya dan Siti Maryam. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas meninggal.
Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang merawatnya, barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui bahwa yang gres saja meninggal itu yaitu anaknya sendiri, yakni Letnan Mas alias Syamsul Bahri. Kemudian dengan upacara kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dinamakanlah mayat Letnan Mas atau Syamsul Bahri itu diantara makam Siti Maryam dan Siti Nurbaya ibarat yang dimintanya.
Sepeninggal Syamsul Bahri, lantaran sesal dan sedihnya maka meninggal pula Sutan Mahmud Syah beberapa hari kemudian. Jenazahnya dikebumikan didekat makam isterinya, yakni Siti Maryam. Dengan demikian di kuburan gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar dan berderet, yakni makam Baginda Sulaeman, Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, Siti Maryam dan Sutan Mahmud Syah.
Beberapa bulan kemudian berziarahlah Zainularifin dan Baktiar telah lulus dalam ujiannya sehingga masing-masing telah menjadi dokter san opzichter.
Kutipan
“Arifin, saya belum menceritakan penglihatanku tadi malam, kepadamu, bukan?” kata Syamsul Bahri kepada sahabatnya, pada keesokan harinya daripada malam Nurbaya kena racun, kira-kira pukul dua siang, tatkala mereka itu pulang dari rumah tempatnya membayar makan.
“Penglihatan apa, Sam?” tanya Arifin.
“Ajaib benar! Sampai kepada waktu ini belum habis kupikirkan, lantaran belum juga kuketahui, apa itu dan apa maksudnya?”
“Cobalah ceritakan,” kata Arifin pula.
“Sebagai biasa,” kata Samsu,” pukul sepuluh malam, pergilah saya tidur. Kira-kira pukul dua belas, dengan tiada kuketahui apa sebabnya, tiba-tiba terbangunlah saya dengan terperanjat, ibarat apa yang membangunkan. Tatkala kubuka mataku, kelihatan olehku akrab meja tulisku, sesuatu bayang-bayang putih, berdiri di belakang kursiku. Sangatlah terperanjat aku, ketika melihat bayang-bayang itu, alasannya pada sangkaku, ia pencuri atau penjahat yang telah masuk ke dalam bilikku,”
“Tetapi kalau pencuri atau penjahat, mengapakah berpakaian putih?” kata Arifin.
“Itulah sebabnya maka terpikir pula olehku, barangkali saya bermimpi; kemudian kupijitlah pahaku, beberapa kali. Akan tetapi, tatkala telah faktual benar kepadaku, bahwa saya tiada tidur lagi, barang yang putih itu masih kelihatan juga.”
“Barangkali pemandangan tiada benar,” kata Arifin, yang belum hendak percaya hendak hilang.”
“Oleh alasannya itu, kugosoklah mataku beberapa lamanya; tetapi yang putih itu tek hendak hilang.”
“Barangkali engkau takut atau tatkala hendak tidur, banyak mengingat masalah setan dan hantu; jadi segala yang kamu lihat, rupanya sebagai setan,” sehut Arifin pula.
“Engkau tahu sendiri, Arifin, saya tiada penakut kepada segala yang demikian. Lagipula, tatkala gres saja kubuka mataku, telah kelihatan bayang-bayang yang putih itu olehku. Betapa orang yang gres bangun tidur akan takut, kalau tiada bermimpi yang dahsyat!”
“Bagaimana bentuknya?” tanya Arifin, yang rupanya mulai percaya akan dongeng Samsu ini.
“Sebagai manusia, berkepala, berbadan, bertangan, dan berkaki,” sahut Samsu,” serta menggunakan pakaian sutra putih yang jarang.”
“Sebagai manusia?” tanya Arifin yang mulai merasa takut, walaupun hari pada waktu itu pukul dua siang dan orang penuh di jalan besar, “Hih! Seram buluku mendengar ceritamu.”
“Sesungguhnya,” jawab Samsu. “Melihat hal yang gila ini, meskipun berapa beraniku, berdebar juga hatiku dan sejurus lamanya, tidaklah tahu aku, apa yang hendak kuperbuat. Hendak berteriak, malu rasanya. Lagipula suaraku tak hendak keluar, sebagai dicekik orang. Hendak berdiri, tubuh dan kaki berat rasanya. Dibiarkan saja, takut kalau-kalau dianiaya aku. Walaupun kuberanikan hatiku, badanku serasa kembang dan punggungku sebagai terkena air dingin.”
“Sudah itu?” tanya Arifin, yang makin bertambah-tambah takut.
“Tatkala kuamat-amati benar bayang-bayang yang putih itu, kelihatanlah mukanya ibarat muka Nurbaya.”
“Nurbaya?” tanya Arifin dengan heran.
“Ya, tak ada ubahnya; hanya wajah mukanya pucat sedikit. Sebab itu meskipun hatiku masih khawatir, dapatkah juga kuberanikan diriku, akan mengeluarkan perkataanku, kemudian bertanya,” Siapa ini?”
“Dan apa jawabnya?” tanya Arifin dengan lekas.
“Tak apa-apa. Ia membisu saja dan tidak pula bergerak-bergerak dari tempatnya.”
“Kemudian?” tanya Arifin pula.
“Kemudian melompatlah aku, hendak mengambil pistolku dari dalam lemari dan sudah itu, hendak kudekati dia. Tetapi tatkala itu juga hilanglah bayang-bayang itu; entah kemana perginya tiada kuketahui.”
“Betul berani engkau,” kata Arifin.
“Tatkala itu datanglah takutku dan menolehlah saya ke segenap daerah kalau-kalau dicekiknya saya dari belakang. Tatapi tak kelihatan suatu apa lagi. Lalu kupasanglah lampu dan kuambil pistolku dari dalam lemari. Ketika itu barulah berani saya memaksa saya kesana kemari, ke bawah daerah tidur, ke bawah mwja dan ke belakang lemari, tetapi suatu pun tiada kelihatan, sedang jendela dan pintu pun masih terkunci.”
“Jika saya bertemu yang denikian, tentulah saya menjerit minta tolong, kalau masih dapat, berteriak. Kalau tidak tentulah saya akan kaku di sana juga, lantaran ketakutan.”
“Setelah kututup lampu itu dengan keras, supaia terangnya jangan kelihatan dari luar dan kutaruh pistolku dibawah bantalku, berbaringlah aku. Tetapi setelah itu tiadalah saya sanggup tidur lagi; pertama lantaran takut akan didatanginya kembali dalam tidurku, kedua memikirkan penglihatan yang gila itu. Apakah itu yaitu takdir! Itulah setan atau hantu!”
“Tetapi kalau hantu, mengapakah rupanya serupa dengan Nurbaya? Yang menjadi hantu itu, bukankah kata orang yang sudah mati, kata orang?” jawab Arifin.
“Sesungguhnya, seumur hidupku, gres kali itu saya melihat bayang-bayang yang demikian,” jawab Samsu, yang sekali-kali tiada mengira, bahwa Nurbaya talah mati.”Bukan mimpi tetapi sebenar-benarnya penglihatan itu.”
“Sungguh gila penglihatanmu itu. Tetapi kuharap janganlah saya hingga bertemu dengan penglihatan yang serupa itu; takut sanggup celaka.”
“Karena tak sanggup tidur lagi, terkenanglah saya akan Nurbaya dan Ibuku. Negri dan kampung halamanku kita, serta timbulah hasrat yang amat dalam hatiku, hendak pulang meneui mereka sekalian dan menyesallah aku, tiada sanggup pergi mengantarkan Nurbaya pulang ke Padang, baru-baru ini. Belun pernah keinginan hatiku hendak pulang sekeras tadi malam. Dimukaku terbayang pula segala kesukaan dan kesusahan, yang telah kurasai, semenjak kita berjalan-jalan ke Gunung Padang. Nakin ku ingat nurbaya, maki kuatir hatiku dan makin terasa pula olehku alpa dan lengahku, melepaskan beliau seorang diri, kembali kedalam lisan harimau itu. Terkadang-kadang khawatir hatiku itu menjadikan perasaan, sebagai benar Nurbaya menerima celaka.”
“Ah, kuliner begitu! Tak berapa usang lagi, tentulah ia di sini. Jika tada, baik kamu jemput saja; perkaranya tentulah selesai,” jawab Arifin.
“Maksudku demikian juga. Kalau hari Sabtu yang akan tiba ini belum juga hingga kemari, tentulah akan kujemput sendiri ke Padang.”
Dengan bercakap-cakap demikian, tibalah kedua mereka di rumah Sekolah Dokter Jawa, kemudian terus menuju bilik masing-masing. Sejurus kemudian daripada itu, datanglahseorang opas pos membawa dua helai surat kawat, untuk Syamsul Bahri. Ditanyakannya kepada Arifin, di mana Syamsul Bahri, kemudian ditunjukan oleh Arifin bilik sahabatnya ini.
“Tatkala Arifin, setengah jam setelah itu, pergi ke bilik Samsu, hendak menanyakan surat kawat apakah yang ditarimanya tadi sua dekali, kelihatan olehnya pintu dan jendela bilik itu telah tertutup. Pada sangkanya, Samsu tentulah telah tidur, untuk melepaskan kantuknya, lantaran kurang tidur semalam. Oleh alasannya ia tiada hendak mengganggu sahabatnya itu, ditunggunyalah hingga Samsu bangun kembali.
“Maksud Samsu sebelum mendapatkan kedua surat kawat tadi, sesungguhnya hendak pergi tidur; jendelanya pun telah ditutupnya. Setelah diterimanya surat itu, ditutupnyalah pula pintunya, lantaran hendak membaca kabar itu seorang diri; lebih-lebih, lantaran kedua surat kawat itu sangat memberi khawatir hatinya.
“Dari siapakah kabar kawat ini, dan bagaimanakah bunyinya?” katanya dalam hati.” O, barangkali dari Nurbaya, memberitahu ia akan tiba kemari.
“Tetapi yang sebuah lagi, dari siapa pula?” Demikianlah pertanyaan yang timbul dalam hatinya.
Sambil berpikir-pikir demikian, dibukanyalah kedua surat kawat itu dengan tangan yang gemetar. Setelah dibacanya kedua surat itu, jatuhlah ia pingsan, tiada kabar darinya, alasannya kedua surat itulah yang membawa kabar kematian Nurbaya dan ibunya.
Berapa lamanya ia terbaring pingsan itu, tiadalah diketahuinya. Ketika ia sadarkan dirinya pula, yaitu halnya ibarat seorang yang gila, tak sanggup berpikir dan berkata-kata. Menangis pun tiada kuasa, sebagai tak lembap lagi matanya. Sesudah melamun sejurus lamanya, diambilnya kertas, dan kalam, kemudian ditulisnya sepucuk surat kepada ayahnya.
Dikutip dari Novel Siti Nurbaya hal 215 – 217,
Analisis Intrinsik
1.Tokoh dan Penokohan
1)Samsul Bahri sebagai pelaku utama (Tokoh Protagonis): anak Sultan Mahmud Syah (penghulu di Padang), wataknya: Orangnya pandai, tingkah lakuya sopan dan santun, halus budibahasanya, sanggup dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
2)Siti Nurbaya sebagai pelaku utama (Tokoh Protagonis): anak Bginda Sulaeman (saudagar kaya di Padang), wataknya: Lemah lembut, penyayang, tutur bahasanya halus, sopan dan santun, baik hati, setia kawan, patuh terhadap orang tua.
3)Datuk Maringgih sebagai pelaku utama (Tokoh Antagonis), pria yang berwatak kikir, picik, penghasud, kejam, sombong, bengis, mata keranjang, penipu, dan selalu memaksakan kehendaknya sendiri.
4)Sultan Mahmud Syah sebagai pelaku pelengkap (Toloh Protagonis), Ayahnya Samsul Bahri yang berwatak: Bijaksana, sopan, ramah, adil, penyayang.
5)Siti Maryam sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Protagonis), berwatak: Bijaksana, sopan, ramah, adil, penyayang.
6)Baiginda Sulaeman sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Protagonis), berwatak: Bijaksana,sopan, ramah, adil, penyayang.
7)Zainularifin sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Protagonis), temannya Samsul Bahri yang berwatak: Tingkah lakunya sopan dan santun, halus kebijaksanaan bahasanya, sanggup dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
8)Bakhtiar sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Protagonis), temannya Samsul Bahri yang berwatak: Tingkahlakunya sopan dan santun, halus budibahasanya, sanggup dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
9)Alimah sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Protagonis), saudaranya Siti Nurbaya, yang bewatak lemah lembut, santun setiakawan, bijaksana.
10)Pak Ali sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Protagonis).
110 Pendekar Tiga sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Antagonis)
12)Pendekar Empat sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Antagonis)
13)Penekar Lima sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Antagonis)
14)Dokter sebagai pelaku pelengkap (Tokoh Protagonis)
2.Tema
Novel “ Siti Nurbaya” ini bertemakan sosial, moral, dan egois. Tema yang terkandung dalam novel ini yaitu; “Satu percintaan antara dua sampaumur yang tidak sanggup berakhir dengan ijab kabul lantaran penghianatan seseorang yang hanya mementingkan kekayaan dunia dan hawa nafsu.
3.Amanat
Amanat yang terkandung dalan novel “Siti Nurbaya” yaitu diantaranya yaitu sebagai berikut :
1)Kita hendaknya jangan terlalu di kuasai oleh perasan dengan tidak mempergunakan pikiran yang sehat lantaran akan berakibat hilangnya keperibadian yang ada pada diri kita.
2)Jika hendak menetapkan sesuatu hendaklah pikirkan masak-masak lebih dulu semoga kelak tidak menyesal.
3)Siapa yang berbuat jahat tentu akan menerima jawaban kelak sebagai akhir dari perbuatan itu.
4.Latar atau Seting
Latar atau Seting ini terdiri atas dua penggalan yaitu : latar waktu dan latar tempat. Latar daerah dalam novel “Siti Nirbaya” diantaranya: di sekolah, di kota Padang,di kota Jakarta, di Kebun Kelapa, di rumah, di halaman rumah, di kantor pos. Latar waktu: sekitar tahun 1920-an.
5.Plot/Alur
Dari segi penysunan bencana atau bagian-bagian yang membentuk, dongeng dari novel “Siti Nurbaya” menggunakan plot kronologis atau progresif, yang lebih dikenal dengan Alur Maju. Makara dongeng novel “Siti Nurbaya” ini ceritanya benar-benar dimulai dari eksposisi, komplikasi, klimaks, dan berakhir dengan pemecahan masalah. Pengarang menyajikan ceritanya secara terurut atau secara alamiah. Artinya urutan waktu yang urut dari bencana A,B,C,D dan seterusnya.
6.Sudut Pandang
Sudut pandang yag dipakai oleh pengarang movel “Siti Nurbaya” ini yaitu sudut pandang diaan-mahatahu. Pengarang berada di luar dongeng hanya menjadi seorang pengamat yang maha tahu dan bahkan bisa berdialog pribadi dengan pembaca.
7.Gaya Penulisan
Gaya penulisan yang di gunakan masih menggunakan gaya bahasa dan sastra usang yang menggunakan ejaan tempo dulu, sehingga mengharuskan adanya pemahaman yang lebih dalam semoga makna dalam novel tersebut sanggup dipahami.
A.Kaitan Karya Sastra Novel dengan Tema pada Zamannya
Cerita dalam novel ini menceritakan ihwal kelicikan tuan tanah dalam memonopoli perdagangan tanah. Cerita dalam novel ini berkaitan pada masa itu banyak terjadi bencana kelicikan yang dilakukan oleh para tuan tanah, sehingga pengarang memunculkan inspirasi novel tersebut sebagai sajian yang menarik.
0 komentar:
Posting Komentar